Sabtu, 04 April 2009

Sinopsis Teori Central Places - Agung Budiono,Spi

Pendahuluan
Sinopsis ini akan memberikan uraian singkat perkembangan pembentukan Central Place Theory. Teori ini dipelopori oleh Christaller (1933) yang terinspirasi oleh gagasan Von Thünen (1826) dengan teori lokasi pertanian maupun Weber (1929) dengan teori lokasi industri. Kemudian pada tahun 1954 gagasan Christaller dikembangkan oleh Lösch.
Gagasan pembentukan teori-teori geografi kebanyakan berawal dari ilmu ekonomi dan yang berhubungan dengannya. Pada kasus yang berkaitan dengan teori tempat pusat/teori kedudukan pusat (central place theory), pola sebaran kegiatan identik dengan persebaran pabrik-pabrik oleh para ekonom (Von Thünen (1826), dan Lösch (1954)) maupun para geograf.
Uraian Singkat
Berikut ini disajikan inti gagasan teori-teori yang membentuk Central Place Theory :
A. Central Place Theory
1. Tokoh pelopor :
Walter Christaller (1933), seorang geograf Jerman.
Teorinya dijelaskan pada buku Die zentralen Orte in Suddeutschland atau Central Places in Southern Germany atau Tempat-tempat Pusat di Jerman Selatan.
2. Inti penjelasan teori :
Teori ini memaparkan tentang persebaran dan besarnya permukiman (hierarki permukiman dan persebarannya). Bahwa berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung bergabung pada pusat wilayahnya sehingga pusat itu menjadi lokasi konsentrasi (kota). Dengan kata lain terciptanya suatu kota didorong oleh para produsen berbagai jenis barang pada orde yang sama cenderung berlokasi pada titik sentral di wilayahnya.


3. Latar belakang :
Teori ini disusun untuk menjawab tiga pertanyaan utama apakah yang menentukan banyaknya, besarnya, dan persebaran kota ?
Teori ini menyangkut hierarki permukiman dan persebarannya secara geografis. Ia meneropong permasalahan kota dari desa.

4. Konsep-konsep dan Model :
Untuk menjawabnya ia mengemukakan dua konsep, dua di antaranya sbb :
a. Range (jangkauan), yaitu jarak yang perlu ditempuh orang untuk mendapatkan barang kebutuhannya (secara temporary).
b. Threshold (ambang), yaitu jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk kelancaran dan kesinambungan suplai barang.
Christaller memakai bentuk hexagon. Tiga jenis struktur heksagonalnya sebagai penggambaran model teorinya yakni K3, K4, dan K7.
5. Asumsi-asumsi :
Lima asumsi yang digunakan oleh Christaller untuk membangun teori dengan pendekatan ilmu geografi ekonomi, antara lain :
(1) Karena para konsumen yang menanggung ongkos angkutan, maka jarak ke tempat pusat yang dinyatakan dalam biaya dan waktu, amat penting.
(2) Karena konsumen yang memikul ongkos angkutan, maka jangkauan (range) suatu barang ditentukan oleh jarak yang dinyatakan dalam biaya dan waktu.
(3) Semua konsumen dalam usaha mendapatkan barang dan jasa yang dibutuhkan, menuju ke tempat pusat yang paling dekat letaknya.
(4) Kota-kota berfungsi sebagai central place bagi wilayah di sekitarnya. Artinya ada hubungan antara besarnya tempat pusat dan besarnya (luasnya) wilayah pasaran, banyaknya penduduk dan tingginya pendapatan di wilayah yang bersangkutan.
(5) Wilayah tersebut digagaskan sebagai dataran di mana penduduknya tersebar merata dan ciri-ciri ekonomisnya sama (besar penghasilan sama).

B. Teori Lokasi Pertanian (Zonasi Lahan Usaha Pertanian)
1. Tokoh pelopor :
J. H. Von Thünen (1826), seorang ekonom dan tuan tanah Jerman.
Teorinya dijelaskan pada buku Der isolierten Staat atau The Isolated State atau Situasi Terpencil.
2. Inti penjelasan teori :
Teori tersebut berupa suatu pola produksi pertanian yang dihubungkan dengan tata guna lahan di sekitar suatu kota pasaran. Tesis umumnya tentang model analisis tata guna lahan pertanian berbunyi biaya produksi menurun mengikuti jarak, (meski ini tergantung dari intensifnya kultivasi), sebaliknya biaya transpornya naik.
3. Latar belakang :
Sehubungan dia adalah pemilik lahan luas di kawasan Mecklenburg (Pruisen) yang tanahnya subur tetapi jalan-jalan yang melewatinya tidak memuaskan untuk transportasi sedang sungai-sungai yang ada tidak dapat dimanfaatkan untuk pengangkutan. Jadi kawasan tersebut tergolong terbelakang, sehingga ia mencari cara bagaimana pemanfaatan sumberdya dan tenaga manusia di tempat itu agar kawasannya dapat maju. Berkebalikan dengan Christaller, ia meneropong permasalahan dari desa ke kota.
4. Konsep-konsep dan Model :
Suatu dasar teorinya adalah prinsip economic rent; di mana tipe-tipe tata guna lahan (pemanfaatan lahan) yang berlainan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berlainan akan menghasilkan hasil bersih per unit areal yang berlainan pula.
Model yang dipakai adalah lingkaran tata guna lahan (zona-zona konsentris dan real).
5. Asumsi-asumsi :
Empat asumsi yang digunakan oleh Von Thünen untuk membangun teori/model dengan pendekatan ilmu ekonomi pertanian, antara lain :
(1) Kota pasaran (market town) itu harus berlokasi terpencil di pusat suatu wilayah homogen secara geografis, dalam arti tanah dan iklimnya.
(2) Biaya transportasi berbanding lurus dengan jarak; dengan transortasi di sini bermaksud pengangkutan hasil dari tempat produksi ke kota.
(3) Setiap petani di kawasan sekeliling kota pasaran itu akan menjual kelebihan hasil pertaniannya ke kota tadi, dan biaya transportasinya menjadi tanggungan sendiri.
(4) Petani cenderung memilih jenis tanaman (crop) yang menghasilkan profit maksimal.

C. Teori Lokasi Industri
1. Tokoh pelopor :
Alfred Weber (1929), seorang ekonom Jerman.
Teorinya dijelaskan dalam bukunya yang berjudul Űber den Standort der Industrien (About the location of industries) atau Tentang Lokasi Industri.
2. Inti penjelasan teori :
Teorinya menyangkut least cost location, suatu kajian lokasi optimal, yaitu lokasi yang terbaik secara ekonomis. Weber memandang hal ini sebagai hal yang primer, di mana berwujud titik di mana biaya transpor bahan mentah yang dibutuhkan dan barang jadi yang disuplai oleh pabrik ke pasaran adalah yang minimal.
Isi pokok teori Weber adalah lokasi industri-industri dipilihkan di tempat-tempat yang biayanya paling minimal.
3. Latar belakang :
Menemukan lokasi optimal bagi setiap pabrik atau industri, di mana terbaik secara ekonomis maupun mampu memberikan keuntungan yang maksimal. Namun Weber lebih cenderung pada sudut pandang terbaik secara ekonomis (least cost location).
4. Konsep-konsep dan Model :
Weber mengajukan model segitiga lokasional (locational triangle).
5. Asumsi-asumsi :
Untuk mendapatkan lokasi yang optimal berdasar prinsip least cost location, perlu diasumsikan enam pra-kondisi sebagai berikut :
(1) Wilayah yang seragam dalam hal topografi, iklim dan penduduknya. Yang disebut terakhir ini bertalian dengan keterampilannya dan penguasaannya (pemerintahannya).
(2) Sumberdaya atau bahan mentah. Misalnya jika hanya menyangkut pasir dan dan air, ini terdapat di mana-mana, tetapi tambang besi dan batubara tentunya hanya terdapat terbatas di tempat-tempat tertentu.
(3) Upah buruh. Ada upah yang telah baku, artinya sama di mana-mana, tetapi ada pula upah yang merupakan produk dari persaingan antarpenduduk.
(4) Biaya transportasi yang bergantung dari bobot bahan mentah yang diangkut atau dipindahkan, serta jarak antara terdapatnya sumberdaya (bahan mentah) dan lokasi pabrik.
(5) Terdapatnya kompetisi antarindustri.
(6) Manusia itu berpikir rasional.

D. Teori Lokasi Industri Optimal
1. Tokoh pelopor :
Lösch (1954), seorang geograf Jerman.
Menulis teorinya dalam buku Economics of Location.
2. Inti penjelasan teori :
Untuk menghasilkan paling banyak pendapatan (maximum revenue) diperlukan lokasi pabrik atau industri yang berada di mana yang bersangkutan dapat menguasai wilayah pasaran yang terluas berdasar permintaan (demand).
3. Latar belakang :
Agak berbeda dengan Weber yang mempunyai sudut pandang lokasi optimal industri dari lokasi terbaik yang paling ekonomis (least cost location), maka Lösch berpijak pada maximum revenue location, lokasi yang memberikan keuntungan maksimal.

4. Konsep-konsep dan model :
Lösch memberikan model kerucut dan heksagonal yang dimodifikasi dari Christaller.
5. Asumsi-asumsi :
Untuk membangun teorinya Lösch berasumsi sebagai berikut :
(1) Permukaan lahan yang datar dan homogen yang selalu disuplai oleh pusat (industri) karena membutuhkan (ada permintaan) secara merata.
(2) Harga penyerahan segala hasil meningkat karena pada industrialis harus menutup ekstra dari transportasinya masing-masing.
(3) Harga cenderung naik mengikuti jarak, maka permintaan terhadap suatu produk khusus akan hilang seluruhnya.
(4) Jika hal di atas terjadi merata ke seluruh arah di sekeliling pabrik, maka wilayah pasaran akan berbentuk lingkaran.
KRITIK TERHADAP CENTRAL PLACE THEORY DENGAN PENEMUAN TEKNOLOGI INFORMASI

John Naisbit (1984), seorang futurolog, memperkirakan bahwa informasi ilmu berlipat ganda setiap lima tahun. Abad tersebut dinamakan sebagai Abad Teknologi Informasi atau The Third Wave. Setelah berakhirnya era industrialisasi, kemajuan teknologi informasi kian tak terbendung membawa perubahan di berbagai sektor kehidupan. Penemuan komputer dan internet (world wide web, jejaring dunia maya yang luas) merupakan tonggak era kemajuan IT (information technology).
Paling tidak ada tiga hal dampak dari kemajuan teknologi informasi, yaitu :
1. Profitability (Keuntungan ekonomi)
Teknologi informasi mempunyai peran dalam penyebaran informasi secara luas dan cepat tanpa kendala waktu dan lokasi. Secara ekonomi kegiatan-kegiatan konvensional dalam penyebaran informasi melalui media tulis/cetak menjadi kurang efisien lagi. Distribusi informasi yang disertai pula oleh fungsi komunikasi (email, chatting, maupun video teleconference) menjadi sangat mudah dilakukan dan tentunya berbiaya sangat murah bagi para pemakai (terlepas dari biaya awal pengadaan infrastruktur).
2. Social benefit (Keuntungan sosial)
Karena karaketeristik produk teknologi informasi nir kendala lokasi dan waktu, maka tiap orang dimungkinkan untuk berhubungan tiap saat dan di manapun berada. Alhasil komunikasi (hubungan sosial) tiap orang atau kelompok menjadi sangat erat.
3. Ketersediaan perangkat dan pengetahuan terkait
Kemajuan teknologi tentunya disertai dengan ketersediaan perangkat dan pengetahuan yang terkait di dalamnya. Hal tersebut lebih populer dengan sebutan hardware dan software. Beragam bentuk, fungsi, dan harga produk tersedia bagi beragam pengguna yang membutuhkan.

Kaitannya dengan Central Place Theory, secara singkat dapat dijelaskan pengaruh perkembangan teknologi informasi bagi eksistensi teori tersebut. Christaller (1933) sebagai penggagas teori tersebut mengajukan dua konsep utama yang membangun teorinya, yaitu range (jangkauan) dan threshold (ambang). Dua konsep ini sekarang menjadi nisbi (relatif). Karena pengaruh jarak dan jumlah minimal penduduk dalam aktivitas pemenuhan kebutuhan dan suplai barang menjadi tidak berlaku lagi. Karena dengan pemanfaatan teknologi informasi, kasus spesifik pemanfataan internet, orang di suatu belahan dunia tertentu dapat bertransaksi langsung dengan orang lain di belahan dunia lainnya untuk memenuhi kebutuhannya. Konsep threshold yaitu jumlah minimal penduduk pun semakin tidak berarti lagi, karena sifatnya yang tidak mengenal ruang.

Meskipun demikian kedua konsep tersebut masih relevan saat ini. Pertama, karena alasan budaya dan kemampuan (pemanfatan) teknologi. Karena tidak semua orang bisa dan mau memafaatkan teknologi informasi dalam membantu memenuhi kebutuhannya. Kedua, karena alasan biaya pengantaran barang (delivery cost). Walaupun dimungkinkan untuk memesan barang pada produsen di manapun berada, barang tersebut memerlukan biaya antar barang yang berwujud fisik. Lain lagi ceritanya, jika telah ditemukan teknologi pengantaran fisik nir alat transportasi konvensional saat ini. Pemesan barang tentunya masih berpikir alternatif untuk mendapatkan barang yang dibutuhkan dengan biaya tambah pengantaran yang minimal. Hal tersebut menandakan bahwa konsep range (jarak) masih berlaku pada kasus ini.

Kesimpulannya, kemajuan teknologi informasi bisa jadi telah mengurangi eksistensi makna konsep utama central place theory atau bahkan menambah makna yang perlu dikaji lebih dalam lagi. Namun, karena alasan-alasan yang telah disampaikan di atas, pengurangan makna tersebut masih pada sisi cara/metode memenuhi (transaksi/pemesanan) suatu barang yang unlimited. Konsep range (jarak) masih relevan karena adanya aktivitas pengantaran barang (fisik), sedangkan konsep threshold (ambang) masih relevan karena adanya alasan budaya dan kemampuan penguasaab teknologi informasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar